Jakarta, Retensi.id – Gerakan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dinilai dapat meningkatkan elektoral dari konstituen yang tidak puas terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Partai Demokrat memiliki identitas sebagai partai oposisi yang cukup strategis. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam pada Kamis (22/9/2022).
Oposisi tersebut secara efektif dapat menjadi strategi politik untuk mendapatkan intensif elektoral yang memadai dari basis pemilih yang tidak puas terhadap kinerja pemerintah.
Menurut Ahmad, Partai Demokrat bisa menjadi pilihan pertama konstituen yang dahulu memilih Partai Gerindra dan kini bergabung di pemerintahan.
Pernyataan SBY terkait dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 bukan sekedar tudingan dan merupakan narasi untuk mengukuhkan diri sebagai partai politik (parpol) oposisi sejati.
Dalam pidato AHY saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat di Jakarta Convention Center (JCC) pada Kamis (15/9/2022), narasi SBY semakin diperkuat.
AHY membandingkan pemerintahan SBY dengan pemerintahan saat ini, serta mengklaim bahwa kondisi ekonomi, sosial, dan demokrasi yang lebih baik ini dibawa oleh pemerintahan SBY.
Semangat perbaikan dan perubahan dari AHY menunjukkan bahwa ia bukan sekadar Ketua Umum Partai Demokrat, namun pemimpin oposisi nasional.
Berdasarkan informasi bahwa kontestasi elektoral akan terdapat banyak kecurangan, maka untuk menghadapi Pemilu 2024 SBY akan turun tangan.
SBY menyampaikan bahwa wujud kecurangan yang tengah diupayakan kelompok tertentu ada 2.
Pertama, Partai Demokrat dan koalisi dijegal sehingga tidak dapat mengusung capres dan cawapresnya.
Kedua, upaya pengondisian agar pemilihan presiden (pilpres) hanya diikuti oleh dua pasangan calon (paslon).
Terdapat berbagai respons dari parpol oposisi pemerintah terutama PDI Perjuangan, atas pernyataan SBY tersebut. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto merasa bahwa ucapan SBY hanyalah fitnah kepada Presiden Joko Widodo.
Sementara Hasto sebaliknya justru menuding kecurangan masif yang terjadi pada Pemilu 2009, saat SBY menjabat sebagai presiden dan mencalonkan diri untuk kali kedua.