Jakarta, Retensi.id – China merupakan negara pemberi pinjaman terbesar ke Sri Lanka. Total pinjaman yang telah diberikan senilai US$ 8 miliar atau setara Rp118,4 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS).
Hingga April 2022, total utang luar negeri Sri Lanka sebesar US$45. Sedangkan jumlah utang ke China yaitu seperenam dari total utang luar negeri tersebut.
Berdasarkan Times of India, di tahun 2022 ini, Sri Lanka utang US$1 miliar hingga US$2 miliar ke Negeri Tirai Bambu.
Sejak 2005, pemerintah Sri Lanka banyak meminjam dari Beijing untuk sejumlah proyek infrastruktur, termasuk pelabuhan Hambantota. Namun, proyek infrastruktur tersebut dianggap tidak memberi manfaat.
Pada 2017 setelah tidak bisa membayar utang $1,4 miliar kepada Beijing, pelabuhan Hambantota juga disewakan ke sebuah perusahaan China.
Mengutip dari Reuters, Januari lalu Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi. China diminta untuk membantu merestrukturisasi pembayaran utang.
Sementara itu, kebangkrutan dibeberkan oleh Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe. Ia mengatakan bahwa saat ini kondisi ekonomi negaranya sedang mengalami krisis.
Krisis terjadi karena utang luar negeri negara itu yang cukup besar serta kondisi buruk lainnya.
Bahan bakar impor tidak bisa dibeli karena utang Sri Lanka yang besar dari perusahaan minyak negara tersebut. Ceylon Petroleum Corporation disebut memiliki utang US$700 juta. Hal ini disampaikan oleh Wickremesinghe.
Kondisi itu menyebabkan tidak ada negara atau organisasi di dunia yang mau menyediakan bahan bakar bahkan uang tunai untuk Sri Lanka.